Thursday, December 9, 2010

Penanganan perdarahan pascapersalinan


Terapi terbaik adalah pencegahan. Mencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus kasus yang disangka akan terjadi perdarahan adalah penting. Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu bersalin, namun sudah dimulai sejak ibu hamil dengan melakukan “antenatal care” yang baik. Ibu-ibu yang mempunyai predisposisi atau riwayat perdarahan post partum sangat dianjurkan untuk bersalin di rumah sakit. Di rumah sakit, diperiksa kadar fisik, keadaan umum, kadar Hb, golongan darah, dan bila mungkin tersedia donor darah. Sambil mengawasi persalianan, dipersiapkan keperluan untuk infus dan obat-obatan penguat rahim.
Anemia dalam kehamilan, harus diobati karena perdarahan dalam batas batas normal dapat membahayakan penderita yang sudah menderita anemia. Apabila sebelumnya penderita sudah pernah mengalami perdarahan post partum, persalinan harus berlangsung di rumah sakit. Kadar fibrinogen perlu diperiksa pada perdarahan banyak, kematian janin dalam uterus, dan solutio plasenta.
Dalam kala III, uterus jangan dipijat dan didorong kebawah sebelum plasenta lepas dari dindingnya. Penggunaan oksitosin sangat penting untuk mencegah perdarahan pascapersalinan. Sepuluh satuan oksitosin diberikan intramuskular segera setelah anak lahir untuk mempercepat pelepasan plasenta. Sesudah plasenta lahir, hendaknya diberikan 0,2 mg ergometrin, intramuskular. Kadang-kadang pemberian ergometrin setelah bahu depan bayi lahir pada presentasi kepala menyebabkan plasenta terlepas segera setelah bayi seluruhnya lahir; dengan tekanan pada fundus uteri, plasenta dapat dikeluarkan dengan segera tanpa banyak perdarahan. Namun salah satu kerugian dari pemberian ergometrin setelah bahu bayi lahir adalah terjadinya jepitan (trapping) terhadap bayi kedua pada persalinan gameli yang tidak diketahui sebelumnya. Pada perdarahan yang timbul setelah anak lahir, ada dua hal yang harus segera dilakukan, yaitu menghentikan perdarahan secepat mungkin dan mengatasi akibat perdarahan. Tetapi apabila plasenta sudah lahir, perlu ditentukan apakah disini dihadapi perdarahan karena atonia uteri atau karena perlukaan jalan lahir. Pada perdarahan yang disebabkan oleh atonia uteri, dengan segera dilakukan massage uterus dan suntikan 0,2 mg ergometrin intravena.
Tiga tindakan ini tidak memberikan hasil yang diharapkan dalam waktu singkat, perlu dilakukan:
a. Kompresi bimanual pada uterus
Caranya:
Tangan kiri penolong dimasukkan kedalam vagina dan sambil membuat kepalan letakkan pada forniks anterior vagina. Tangan kanan diletakkan pada perut penderita dengan memegang fundus uteri dengan telapak tangan dan dengan ibu jari didepan serta jari-jari lain dibelakang uterus. Sekarang corpus uteri terpegang antara dua tangan; tangan kanan melakukan massage pada uterus dan sekalian menekannya terhadap tangan kiri.
Kelemahannya:
Kompresi bimanual melelahkan penolong sehingga jika tidak lekas mberi hasil, perlu diganti dengan perasat lain.
b. Perasat Dickinson
Perasat Dickinson mudah dilakukan pada seorang multipara dengan dinding perut yang sudah lembek.
Caranya:
Tangan kanan diletakkan melintang pada bagian-bagian uterus, dengan jari kelingking sedikit diatas symphisis pubis melingkari bagian tersebut sebanyak mungkin, dan mengangkatnya ke atas. Tangan kiri memegang corpus uteri dan sambil melakukan massage,menekannya kebagian bawah kearah tangan kanan dan ke belakang kearah peritonium. Akhirnya masih dapat dilakukan tamponade uterovaginal.
Kelemahannya:
Tindakan ini sekarang oleh banyak dokter tidak dilakukan lagi karena umumnya tanpa usaha-usaha tersebut diatas perdarahan yang disebabkan oleh atonia uteri sudah dapat diatasi. Lagipula dikhawatirkan bahwa tamponade yang dilakukan dengan teknik yang tidak sempurna tidak menghindarkan perdarahan dalam uterus belakang tampon.
c. Teknik lain
Dengan seorang pembantu memegang dan menahan fundus uteri, tangan kiri penolong diletakkan di vagina dengan ujung-ujung jari untuk sebagian masuk ke serviks uteri. Tangan kanan dengan petunjuk tangan kiri memasukkan tampon kasa panjang kedalam uterus sampai cavum uteri terisi penuh. Untuk menjamin bahwa tampon benar-benar mengisi cavum uteri dengan padat, kadang-kadang usaha memasukkan tampon dihentikan sebentar untuk memberi kesempatan kepada tangan dalam uterus untuk menekan tampon pada dinding cavum uteri. Dengan mengisi cavum uteri secara padat, dapat dihindarkan terjadinya perdarahan di belakang tampon. Tekanan tampon pada dinding uterus menghalangi pengeluaran darah dari sinus-sinus yang terbuka selain itu tekanan tersebut menimbulkan rangsangan pada myometrium untuk berkontraksi. Sesudah uterus diisi, tampon dimasukkan juga ke dalam vagina. Tampon diangkat 24 jam kemudian.
Pada perdarahan diatas masih ada kemungkinan dilakukannya laparotomi yaitu melakukan ikatan arteria hipogastrika kanan dan kiri atau histrektomi. Sedangkan terapi terbaik terhadap perdarahan yang disebabkan oleh hipofibrinogenemia ialah transfusi darah segar, ditambah dengan pemberian fibrinogen jika ada persediaan.
Jadi tergantung pada banyaknya perdarahan dan derajat atonia uteri dibagi dalam tiga tahap:
Tahap I: Perdarahan yang tidak begitu banyak dapat diatasi dengan cara pemberian uterotonika, mengurut rahim (massage), dan memasang gurita.
Tahap II: Bila perdarahan belum berhenti dan bertambah banyak, selanjutnya diberikan infus dan transfusi darah dan dapat dilakukan:
a. Perasat Zangemeister
b. Perasat Fritch
c. Kompresi bimanual
d. Kompresi aorta
e. Tamponade utero-vaginal
f. Jepitan arteri uterina dengan cara Henkel
Tamponade utero-vaginal walaupun secara fisiologis tidak tepat, hasilnya masih memuaskan, terutama di daerah pedesaan di mana fasilitas lainnya sangat minim atau tidak ada.
Tahap III: Bila semua upaya diatas tidak menolong juga, maka usaha terakhir adalah menghilangkan sumber perdarahan, dapat ditempuh dua cara, yaitu dengan meligasi arteri hipogastrika atau histerektomi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perdarahan pascapersalinan
1. Perdarahan pascapersalinan dan usia ibu
Wanita yang melahirkan anak pada usia dibawah 20 tahun atau lebih dari 35 tahun merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Hal ini dikarenakan pada usia dibawah 20 tahun fungsi reproduksi seorang wanita belum berkembang dengan sempurna, sedangkan pada usia diatas 35 tahun fungsi reproduksi seorang wanita sudah mengalami penurunan dibandingkan fungsi reproduksi normal sehingga kemungkinan untuk terjadinya komplikasi pascapersalinan terutama perdarahan akan lebih besar.
Perdarahan pascapersalinan yang mengakibatkan kematian maternal pada wanita hamil yang melahirkan pada usia dibawah 20 tahun 2-5 kali lebih tinggi daripada perdarahan pascapersalinan yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Perdarahan pascapersalinan meningkat kembali setelah usia 30-35tahun.
2. Perdarahan pascapersalinan dan gravida
Ibu-ibu yang dengan kehamilan lebih dari 1 kali atau yang termasuk multigravida mempunyai risiko lebih tinggi terhadap terjadinya perdarahan pascapersalinan dibandingkan dengan ibu-ibu yang termasuk golongan primigravida (hamil pertama kali). Hal ini dikarenakan pada multigravida, fungsi reproduksi mengalami penurunan sehingga kemungkinan terjadinya perdarahan pascapersalinan menjadi lebih besar.
3. Perdarahan pascapersalinan dan paritas
Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut perdarahan pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Paritas satu dan paritas tinggi (lebih dari tiga) mempunyai angka kejadian perdarahan pascapersalinan lebih tinggi. Pada paritas yang rendah (paritas satu), ketidaksiapan ibu dalam menghadapi persalinan yang pertama merupakan faktor penyebab ketidakmampuan ibu hamil dalam menangani komplikasi yang terjadi selama kehamilan, persalinan dan nifas.
4. Perdarahan pascapersalinan dan Antenatal Care
Tujuan umum antenatal care adalah menyiapkan seoptimal mungkin fisik dan mental ibu serta anak selama dalam kehamilan, persalinan dan nifas sehingga angka morbiditas dan mortalitas ibu serta anak dapat diturunkan.
Pemeriksaan antenatal yang baik dan tersedianya fasilitas rujukan bagi kasus risiko tinggi terutama perdarahan yang selalu mungkin terjadi setelah persalinan yang mengakibatkan kematian maternal dapat diturunkan. Hal ini disebabkan karena dengan adanya antenatal care tanda-tanda dini perdarahan yang berlebihan dapat dideteksi dan ditanggulangi dengan cepat.
5. Perdarahan pascapersalinan dan kadar hemoglobin
Anemia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan penurunan nilai hemoglobin dibawah nilai normal. Dikatakan anemia jika kadar hemoglobin kurang dari 8 gr%. Perdarahan pascapersalinan mengakibatkan hilangnya darah sebanyak 500 ml atau lebih, dan jika hal ini terus dibiarkan tanpa adanya penanganan yang tepat dan akurat akan mengakibatkan turunnya kadar hemoglobin dibawah nilai normal.
Program ”Siaga” sebagai upaya pencegahan
SIAGA (Siap Antar Jaga) adalah suatu program yang dilakukan atas kerjasama Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, serta Kementrian Pemberdayaan Perempuan. Siaga ini ditujukan untuk lebih meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa keselamatan ibu hamil adalah tanggungjawab keluarga dan warga sekitar. Dengan sistem yang warganya dikondisikan untuk siaga ini segala kemungkinan terjadinya komplikasi baik selama hamil, persalinan maupun pascapersalinan dapat dicegah dan ditanggulangi sedini mungkin. Tokoh masyarakat, ahli medis dan seluruh warga desa bersama-sama mengupayakan fasilitas untuk menangani masalah-masalah yang dihadapi para ibu hamil dan menyusui. Fasilitas yang tersedia diantaranya adalah transportasi menuju rumah sakit yang dibutuhkan ibu yang akan melahirkan. Dengan adanya program ini pula perdarahan pascapersalinan yang merupakan risiko tinggi bagi ibu saat melahirkan dapat ditanggulangi sedini mungkin karena di desa yang disebut desa siaga semua warga siap mendonorkan darahnya sehingga keterlambatan dalam melakukan tindakan pertolongan tidak terjadi.
Program siaga ini juga mengupayakan agar ibu-ibu hamil tidak harus direpotkan dengan masalah biaya untuk persalinan, karemna salah satu program dari siaga ini, yaitu ”Tabungan Ibu Bersalin” (Tabulin) dapat dipakai untuk biaya melahirkan dan biaya penunjang lain yang dibutuhkan setelah melahirkan.
Penyuluhan-penyuluhan juga merupakan program penting dalam siaga ini, karena dengan penyuluhan warga selalu diingatkan akan bahaya kehamilan ”terlalu sering, terlalu muda, terlalu tua, dan terlalu banyak” yang merupakan faktor risiko terjadinya komplikasi persalinan. Dalam penyuluhan ini ibu-ibu juga dingatkan akan ”tiga terlambat” yang dapat menyebabkan kematian, yaitu ”terlambat mengenal tanda-tanda bahaya selama kehamilan, terlambat mengantar karena tidak tersedianya sarana transportasi ke fasilitas kesehatan, serta terlambat memperoleh pertolongan ahli medis.10
Prognosis perdarahan pascapersalinan
Perdarahan pascapersalinan masih merupakan ancaman yang tidak terduga walaupun dengan pengawasan yang sebaik-baiknya, perdarahan pascapersalinan masih merupakan salah satu sebab kematian ibu yang penting. Sebaliknya menurut pendapat para ahli kebidanan modern: ”Perdarahan pascapersalinan tidak perlu membawa kematian pada ibu bersalin”. Pendapat ini memang benar bila kesadaran masyarakat tentang hal ini sudah tinggi dan dalam klinik tersedia banyak darah dan cairan serta fasilitas lainnya. Dalam masyarakat kita masih besar anggapan bahwa darahnya adalah merupakan hidupnya karena itu mereka menolak menyumbangkan darahnya, walaupun untuk menolong jiwa istri dan keluarganya sendiri.
Pada perdarahan pascapersalinan, Mochtar R.ddk, melaporkan angka kematian ibu 7,9% dan Wiknjosastro H. 1,8-4,5%. Tingginya angka kematian ibu karena banyak penderita yang dikirim dari luar dengan keadaan umum yang sangat jelek dan anemis dimana tindakan apapun kadang-kadang tidak menolong.

No comments:

Post a Comment